Social Icons


SMA N 1 Belitang

Selasa, 15 Oktober 2013

Optika geometris

Optika geometris atau optika sinar menjabarkan perambatan cahaya sebagai vektor yang disebut sinar. Sinar adalah sebuah abstraksi atau "instrumen" yang digunakan untuk menentukan arah perambatan cahaya.
Sinar sebuah cahaya akan tegak lurus dengan muka gelombang cahaya tersebut, dan ko-linear terhadap vektor gelombang.
Menurut prinsip Fermat, jarak yang ditempuh sebuah sinar antara dua buah titik, adalah jarak tempuh terpendek dan tercepat.[1] Sebelumnya, pada tahun 60, Heron dari Alexandria, seorang matematikawan berkebangsaan Yunani yang tinggal di salah satu provinsi Roma, Ptolemaic Egypt, menjelaskan prinsip refleksi sinar cahaya dengan jarak tempuh terkecil dalam medium dengan beberapa cermin datar. Ibn al-Haytham, dalam bukunya Kitab al-Manazir atau Book of Optics pada tahun 1021 memperluas prinsip Heron untuk refleksi dan refraksi dan menetapkan versi pertama principle of least time[2] dengan definisi sinar sebagai aliran partikel energi[3] yang merambat dengan kecepatan konstan[4][5][6] pada jarak tempuh yang lurus[4] dengan radiasi ke segala arah. Hanya satu sinar yang terlihat yaitu sinar dengan radiasi tegak lurus terhadap arah pandang mata. Penyederhanaan principle of least time ditulis oleh Pierre de Fermat pada suratnya ke Cureau de la Chambre tertanggal 1 Januari 1662, segera mendapat sanggahan oleh Claude Clerselier, seorang ahli optika dan juru bicara ternama golongan Cartesian pada bulan Mei 1662. Salah satu sanggahannya:
... Fermat's principle can not be the cause, for otherwise we would be attributing knowledge to nature: and here, by nature, we understand only that order and lawfulness in the world, such as it is, which acts without foreknowledge, without choice, but by a necessary determination.
Pada masa kini, definisi prinsip Fermat menambahkan jarak tempuh sinar yang stasioner.
Optika geometris menjelaskan sifat cahaya dengan pendekatan paraksial atau hampiran sudut kecil dengan penjabaran matematis yang linear, sehingga komponen optik dan sistem kerja cahaya seperti ukuran, posisi, pembesaran subyek yang dijelaskan menjadi lebih sederhana, diantaranya dengan teknik optik Gaussian dan penelusuran sinar paraksial.[7] Cahaya didefinisikan sebagai partikel yang merambat, yang disebut sinar. Ali Sina Balkhi (980–1037), juga mengatakan bahwa the perception of light is due to the emission of some sort of particles by a luminous source.[8] Pierre Gassendi pada tahun 1660 membuat proposal teori partikel cahaya. Isaac Newton mempelajari teori Gassendi dan teori plenum Descartes. Pada tahun 1675, Newton dalam buku Hypothesis of Light membuat Corpuscular theory of Light yang direvisi hingga tahun 1704 dalam bukunya Opticks, yang menerangkan fenomena refleksi dan refraksi cahaya dengan asumsi cepat rambat yang lebih tinggi ketika cahaya melalui medium yang padat tumpat karena daya tarik gravitasi yang lebih kuat. Teori ini mengilhami Pierre Simon marquis de Laplace dengan hipotesa lobang hitam, sebuah benda yang sangat padat hingga cahaya pun tidak dapat lepas dari padanya. Laplace menarik hipotesanya saat teori gelombang optik fisis bermunculan. Essay Laplace kemudian dikembangkan oleh Stephen Hawking dan George F.R. Ellis dalam buku The large scale structure of space-time.
Diagram refleksi sinar cahaya spekular
Refleksi atau pantulan cahaya terbagi menjadi 2 tipe: specular reflection dan diffuse reflection. Specular reflection menjelaskan perilaku pantulan sinar cahaya pada permukaan yang mengkilap dan rata, seperti cermin yang memantulkan sinar cahaya ke arah yang dengan mudah dapat diduga. Kita dapat melihat citra wajah dan badan kita di dalam cermin karena pantulan sinar cahaya yang baik dan teratur. Menurut hukum refleksi untuk cermin datar, jarak subyek terhadap permukaan cermin berbanding lurus dengan jarak citra di dalam cermin namun parity inverted, persepsi arah kiri dan kanan saling terbalik. Arah sinar terpantul ditentukan oleh sudut yang dibuat oleh sinar cahaya insiden terhadap normal permukaan, garis tegak lurus terhadap permukaan pada titik temu sinar insiden. Sinar insiden dan pantulan berada pada satu bidang dengan masing-masing sudut yang sama besar terhadap normal.[9]
Citra yang dibuat dengan pantulan dari 2 (atau jumlah kelipatannya) cermin tidak parity inverted. Corner retroreflector memantulkan sinar cahaya ke arah datangnya sinar insiden.[9]
Diffuse reflection menjelaskan pemantulan sinar cahaya pada permukaan yang tidak mengkilap (Inggris:matte) seperti pada kertas atau batu. Pantulan sinar dari permukaan semacam ini mempunyai distribusi sinar terpantul yang bergantung pada struktur mikroskopik permukaan. Johann Heinrich Lambert dalam Photometria pada tahun 1760 dengan hukum kosinus Lambert (atau cosine emission law atau Lambert's emission law) menjabarkan intensitas radian luminasi sinar terpantul yang proposional dengan nilai kosinus sudut θ antara pengamat dan normal permukaan Lambertian dengan persamaan:
I_0=\frac{I \cos(\theta)\, d\Omega\, dA}{d\Omega_0\, \cos(\theta)\, dA_0}
=\frac{I\, d\Omega\, dA}{d\Omega_0\, dA_0} photons/(s·cm2·sr)
Illustrasi hukum Snellius untuk n1 < n2, seperti pada antarmuka udara/air. θ1 dan θ2 adalah sudut kritis bias dimana sinar merah merambat menurut prinsip Fermat dan membentuk jendela Snellius. Pada sudut yang lebih besar terjadi total internal reflection sedangkan pada sudut yang lebih kecil, cahaya akan merambat lurus.
Ketika gelombang elektromagnetik menyentuh permukaan medium dielektrik dari suatu sudut, leading edge gelombang tersebut akan melambat sementara trailing edgenya tetap melaju normal.[10] Penurunan kecepatan leading edge disebabkan karena interaksi dengan elektron dalam medium tersebut.[11] Saat leading edge menumbuk elektron, energi gelombang tersebut akan diserap dan kemudian diradiasi kembali. Penyerapan dan re-radiasi ini menimbulkan keterlambatan sepanjang arah perambatan gelombang. Kedua hal tersebut menyebabkan perubahan arah rambat gelombang yang disebut refraksi atau pembiasan. Perubahan arah rambat gelombang cahaya dapat dihitung dari indeks bias berdasarkan hukum Snellius:
\frac{\sin\theta_1}{\sin\theta_2} = \frac{v_1}{v_2} = \frac{n_2}{n_1}
dimana:
Letak bayangan benda akibat proses refraksi pada lensa
Perhitungan letak bayangan pada lensa dan cermin akan mengikuti:
\frac{1}{S_1} + \frac{1}{S_2} = \frac{1}{f}
di mana
S_1 adalah jarak objek/benda dari lensa/cermin
S_2 adalah jarak bayangan benda dari lensa/cermin
f adalah jarak fokus = R/2.
Rumus perhitungan untuk perbesaran bayangan, M:
 M = - \frac{S_2}{S_1} = \frac{f}{f - S_1}
di mana tanda negatif menyatakan objek yang terbalik (objek yang berdiri tegak memakai tanda positif).
Hukum Snellius juga disebut Hukum pembiasan atau Hukum sinus dikemukakan oleh Willebrord Snellius pada tahun 1621 sebagai rasio yang terjadi akibat prinsip Fermat. Pada tahun 1637, René Descartes secara terpisah menggunakan heuristic momentum conservation in terms of sines dalam tulisannya Discourse on Method untuk menjelaskan hukum ini. Cahaya dikatakan mempunyai kecepatan yang lebih tinggi pada medium yang lebih padat karena cahaya adalah gelombang yang timbul akibat terusiknya plenum, substansi kontinu yang membentuk alam semesta.

Sumber  : http://id.wikipedia.org/wiki/Optika_geometris

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
 
Cookie Monster Sesame Street